Kabut di Jembatan Pemisah Hujan menggigil di atas Kota Tua. Setiap tetesnya bagai jarum yang menusuk kulit, mengingatkanku pada malam itu…...

Cerpen Terbaru: Air Mata Yang Menghidupi Kenangan Cerpen Terbaru: Air Mata Yang Menghidupi Kenangan

Cerpen Terbaru: Air Mata Yang Menghidupi Kenangan

Cerpen Terbaru: Air Mata Yang Menghidupi Kenangan

Kabut di Jembatan Pemisah

Hujan menggigil di atas Kota Tua. Setiap tetesnya bagai jarum yang menusuk kulit, mengingatkanku pada malam itu… malam pengkhianatan. Di seberang jembatan batu yang lengang, siluetnya muncul. Lin Wei. Rambutnya yang dulu selalu kutata kini tergerai basah, persis seperti malam itu.

Dulu, senyumnya adalah mentari. Kini, hanya bayangan yang patah yang terpantul di genangan air. Kami terpisah lima tahun lalu, saat aku memergokinya dengan orang lain. Rasa sakit itu masih segar, bagai luka yang disiram air garam.

"Sudah lama, Jian," suaranya serak, nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. Cahaya lentera yang nyaris padam di dekatnya menerangi wajahnya. Wajah yang dulu kurindukan setengah mati.

"Terlalu lama," balasku dingin. Setiap kata terasa berat, menekan dadaku. Aku menggenggam erat payung di tanganku. Di balik payung itu, tersembunyi rencana yang telah kurajut bertahun-tahun. Rencana yang membutuhkan pengorbanan.

Kami berdua terdiam. Hanya suara hujan dan angin yang menjadi saksi bisu. Lin Wei menghela napas panjang.

"Aku… aku minta maaf," lirihnya. Kata-kata itu terdengar hampa. Terlalu terlambat.

Aku mengangkat daguku. "Maaf tidak cukup untuk menghapus segalanya."

"Aku tahu. Tapi… bisakah kau memberiku kesempatan untuk menjelaskan?"

Aku tertawa sinis. Tawa yang pahit dan menyesakkan. "Menjelaskan apa? Bahwa kau mencintainya? Bahwa aku hanya mainan bagimu?"

Lin Wei menggeleng lemah. Air mata bercampur dengan air hujan di pipinya. Pemandangan yang seharusnya membuatku iba, namun kini hanya memicu amarah.

"Kau salah. Kau tidak tahu segalanya, Jian."

"Tidak tahu? Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Aku…" Aku berhenti. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya. Sebuah kepedihan yang mendalam, yang tak mungkin dipalsukan.

"Aku terpaksa," bisiknya. "Aku… aku melakukan itu demi kau."

Demi aku? Mustahil. Tidak mungkin dia mengkhianatiku demi aku. Otakku menolak memproses kata-katanya.

"Omong kosong!" bentakku.

Lin Wei menggeleng lagi. "Tidak, Jian. Kau harus tahu yang sebenarnya. Ayahmu… ayahmu yang menyuruhku."

Duniaku runtuh seketika. Ayah? Ayah menyuruhnya mengkhianatiku? Mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, tanpa jawaban.

Lin Wei mendekat. "Ayahmu… dia punya rahasia. Rahasia yang sangat besar. Rahasia yang bisa menghancurkanmu. Aku melakukan itu untuk melindungimu, Jian."

Aku terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Apa yang harus kupercayai.

"Aku akan membuktikannya padamu," janji Lin Wei. "Aku akan mengungkap segalanya."

Dia melangkah mundur, kemudian berbalik dan menghilang dalam kabut. Meninggalkanku sendirian di bawah hujan yang menggigil, dengan pikiran yang kacau dan hati yang hancur.

Namun, satu hal yang pasti: Semua ini hanyalah sandiwara yang dirancang untuk mengungkap kebenaran tentang malam ketika sebuah warisan berdarah dilahirkan.

You Might Also Like: Approach To Dyspnea Dyspnea On Exertion

0 Comments: