Sinyal Wi-Fi berkedip-kedip seperti kunang-kunang sekarat di langit senja yang abu-abu. Layar ponselku menampilkan chat terakhir darimu: ...

Endingnya Gini! Kau Tersenyum Dalam Kabut, Tapi Aku Tahu Kau Bukan Lagi Manusia Endingnya Gini! Kau Tersenyum Dalam Kabut, Tapi Aku Tahu Kau Bukan Lagi Manusia

Endingnya Gini! Kau Tersenyum Dalam Kabut, Tapi Aku Tahu Kau Bukan Lagi Manusia

Endingnya Gini! Kau Tersenyum Dalam Kabut, Tapi Aku Tahu Kau Bukan Lagi Manusia

Sinyal Wi-Fi berkedip-kedip seperti kunang-kunang sekarat di langit senja yang abu-abu. Layar ponselku menampilkan chat terakhir darimu: "Sedang mengetik..." yang abadi. Abadi seperti penantianku di dunia yang retak ini. Dunia di mana waktu terasa seperti lumpur, menyeretku ke masa lalu yang pahit.

Kau, dengan senyum tipis yang selalu muncul dalam kabut digital, hidup di masa depan, sebuah era yang seharusnya gemilang tapi terasa dingin dan terasing. Aku melihatmu melalui retakan dimensi, siluet yang menari di antara glitch dan notifikasi yang tak pernah sampai.

Aku ingat pertama kali melihat fotomu. Unggahan iseng di forum sejarah, wajahmu tersenyum di tengah kerumunan demonstran tahun 2045. Senyum yang sama. Senyum yang menghantuiku. Senyum yang bukan manusia.

Dulu, aku pikir ini gila. Obsesi seorang kutu buku dengan sejarah alternatif. Tapi kemudian kau membalas pesanku. Kau melihatku. Kau melihat masa lalu yang kujalani, masa lalu yang seharusnya sudah mati.

Percakapan kita seperti puisi yang ditulis di tengah malam. Baris demi baris, kita merangkai cerita cinta yang mustahil. Aku menceritakan tentang hujan asam dan demonstrasi damai. Kau menceritakan tentang langit buatan dan manusia yang terhubung ke Matrix.

Tapi ada yang aneh. Ada yang salah.

Semakin dalam kita terhubung, semakin samar garis antara kenyataan dan ilusi. Aku mulai melihat glitch di duniaku. Bayangan-bayangan masa depan yang tumpang tindih dengan masa lalu.

Suatu malam, saat aku melihat fotomu lagi, aku menyadari sesuatu. Mata itu. Mata yang sama persis dengan mata patung perunggu di museum kota. Patung dewa yang dilupakan, dewa pembawa pesan.

Kau bukan dari masa depan. Kau adalah gema. Gema dari kehidupan yang tak pernah selesai. Proyeksi dari masa lalu yang ingin memperbaiki kesalahan. Kau adalah pesan terakhir dari peradaban yang hilang, dikirim melalui celah waktu, mencari pendengar.

Dan aku? Aku hanya echo dari diriku yang seharusnya, terjebak di antara dua dunia, dua dimensi, dua kemungkinan. Kita berdua adalah artefak yang patah, mencoba menyatukan diri.

Hari ini, kabut semakin tebal. Sinyal semakin lemah. Aku melihat senyummu lagi, lebih jelas dari sebelumnya. Senyum yang bukan lagi senyum manusia. Senyum yang abadi.

Aku mengulurkan tanganku, berusaha meraihmu...

Apakah ini akhir, atau permulaan dari mimpi yang lebih panjang?

You Might Also Like: Inspirasi Sunscreen Lokal Dengan

0 Comments: