Hujan di hari itu bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Itu adalah ratapan pilu para dewa, saksi bisu hari reinkarnasi Putri Mei, yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, justru ternoda duka. Seribu tahun lalu, di bawah pohon plum yang mekar sempurna, Pangeran Zhao berjanji akan menikahinya. Seribu tahun lalu, ia mengkhianati Mei, menikahi putri dari kerajaan musuh demi kekuasaan, dan membiarkannya mati dalam kesunyian istana yang dingin.
Mei dilahirkan kembali. Bukan sebagai seorang putri, melainkan seorang yatim piatu bernama Lian. Ia tidak mengingat masa lalunya, tetapi hatinya selalu terasa perih, seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Zhao, yang kini menjadi Kaisar Agung, juga dilahirkan kembali. Namun, takdir memberinya ingatan. Setiap malam, ia dihantui wajah Mei, senyumnya, air matanya, janji yang ia ingkari. Ia hidup dalam PENYESALAN ABADI.
Lian, dengan bakat melukisnya yang memukau, memasuki istana sebagai pelukis istana. Di sanalah, pandangan mereka bertemu. Mata Lian memancarkan ketidaktahuan, namun aura dinginnya menusuk jantung Kaisar Zhao. Ia tahu, ini adalah Mei. Jiwanya, meskipun lupa, tetap membencinya.
Momen itu tiba saat Kaisar Zhao memerintahkan Lian untuk melukis potret dirinya. Selama berhari-hari, Lian melukis. Ia mengamati wajahnya, kerutan di dahinya, mata yang menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Di setiap goresan kuas, kebenciannya tumbuh, bercampur dengan sisa-sisa keindahan masa lalu.
Akhirnya, potret itu selesai. Kaisar Zhao terpana. Itu bukan sekadar potret, itu adalah jiwa dirinya yang telanjang. Namun, ada yang aneh. Di balik bayangan matanya, tersembunyi senyum samar.
"Kau melukisku dengan sangat jujur, Lian," kata Kaisar Zhao, suaranya bergetar. "Apakah kau membenciku?"
Lian hanya tersenyum tipis. "Saya hanya melukis apa yang saya lihat, Yang Mulia."
Kaisar Zhao mendekat, ingin meraih tangannya, ingin memohon ampun. Namun, Lian mundur. Ia mengambil sebuah kuas kecil, mencelupkannya ke dalam tinta merah, dan menambahkan satu detail terakhir pada potret itu: setitik darah di sudut bibir Kaisar Zhao. Darah itu tampak nyata, seperti baru saja menetes.
Esok harinya, Kaisar Zhao ditemukan tewas di kamarnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan ia meninggal karena serangan jantung. Namun, ada yang janggal. Di bibirnya, terdapat setitik darah SEGAR, sama persis seperti yang dilukis Lian.
Tak ada yang tahu, Lian mencampurkan setetes racun mematikan ke dalam tinta merah itu. Racun yang bekerja perlahan, membunuh dari dalam, tanpa meninggalkan jejak. Ia tidak menyentuhnya, tidak membunuhnya secara langsung. Ia hanya melukis takdirnya.
Langit masih menangis. Lian meninggalkan istana, menyusuri jalanan yang basah. Di hatinya, tidak ada kepuasan, hanya kehampaan. Ia membiarkan Kaisar Zhao hidup dalam penyesalan selama beberapa waktu. Ia membiarkannya menyesali tindakannya. Ia membiarkannya merindukannya. Ia membiarkannya mencintainya sekali lagi sebelum akhirnya... merenggut nyawanya.
Setetes air mata jatuh dari pipinya, bercampur dengan hujan.
Cinta dan dendam, kadang berdansa di tepi jurang yang sama.
You Might Also Like: Inspirasi Pembersih Wajah Lokal Tanpa
0 Comments: