Hujan kota Jakarta meratap di balik kaca, meniru air mata yang enggan jatuh. Di tanganku, ponsel bergetar lirih. Notifikasi. Bukan dari dia...

FULL DRAMA! Bayangan Yang Menuntun Ke Jurang FULL DRAMA! Bayangan Yang Menuntun Ke Jurang

FULL DRAMA! Bayangan Yang Menuntun Ke Jurang

FULL DRAMA! Bayangan Yang Menuntun Ke Jurang

Hujan kota Jakarta meratap di balik kaca, meniru air mata yang enggan jatuh. Di tanganku, ponsel bergetar lirih. Notifikasi. Bukan dari dia. Selalu bukan dari dia.

Ini sudah hari ke-27. 27 hari sejak obrolan terakhir kami, yang terhenti di tengah kalimat. "Aku…" Katanya. Aku apa? Aku cinta? Aku pergi? Aku… Hantu.

Aroma kopi robusta yang kubuat sendiri gagal menutupi bau getir kenangan. Dulu, di apartemen ini, tawa kami berpadu dengan aroma kopi, menciptakan simfoni kebahagiaan yang kini hanya menjadi gema hampa. Kami bertemu di dunia maya, tentu saja. Aplikasi kencan yang menjanjikan jodoh, malah memberiku bayangan.

Dia adalah "Arjuna_Senja" di dunia maya, tapi bernama Arya di dunia nyata. Matanya teduh, menyembunyikan badai yang tak kutahu. Kata-katanya puitis, mengalirkan sungai impian ke dalam jiwaku yang dahaga. Kami bertukar mimpi, ketakutan, dan rahasia – setidaknya, itu yang kupikirkan.

Namun, Arya adalah labirin. Semakin aku berusaha memahaminya, semakin jauh aku tersesat. Pertemuanku dengannya selalu terasa seperti pencurian waktu. Ada yang disembunyikannya. Ada jurang yang menganga di antara senyumnya.

Aku menemukan petunjuknya dalam sisa chat yang tak terkirim di laptopnya. Sebuah nama: "Dewi". Serangkaian pesan yang penuh amarah dan permohonan. Kemudian, sebuah foto. Arya dan Dewi. Bersama. BAHAGIA.

Hatiku hancur berkeping-keping seperti kaca yang jatuh ke lantai. Aku merasa bodoh. Naif. Dikhianati.

Aku menelusuri Dewi. Seorang pengusaha muda, sukses, cantik, dan… istri orang. Istri seorang politisi berpengaruh yang dikenal dengan nama "Bapak Purnama".

Semua kepingan puzzle itu akhirnya menyatu, membentuk gambar yang mengerikan. Arya adalah boneka. Dia diperalat, dimanfaatkan, mungkin bahkan diancam.

Tapi kenapa aku? Kenapa dia mendekatiku? Apakah aku hanya alibi? Atau… korban selanjutnya?

Aku memutuskan untuk bertemu Dewi. Di sebuah kafe mewah di kawasan Kuningan, kami bertatap muka. Dia terlihat lelah, matanya menyimpan lautan kesedihan yang sama dengan yang kurasakan.

"Arya mencintai saya," katanya lirih. "Tapi cinta kami terlalu berbahaya."

Aku tidak membalas. Aku sudah tahu. Cinta mereka menuntunnya ke jurang.

Aku tidak akan membiarkan dia jatuh sendirian.

Balas dendamku?

Bukan amarah. Bukan jeritan. Bukan pengkhianatan balik.

Hanya sebuah pesan terakhir yang kuketik di ponselnya, dan kukirimkan ke Bapak Purnama. Pesan singkat, padat, berisi bukti-bukti perselingkuhan Arya dan Dewi.

Kemudian, aku mematikan ponsel Arya. Selamanya.

Aku keluar dari kafe, membiarkan hujan Jakarta membasahi wajahku. Aku tersenyum. Senyum terakhir untuk kenangan yang pahit ini. Aku berjalan menjauh, meninggalkan semuanya di belakang.

Aku memutuskan untuk pindah. Menghapus semua jejak Arya dari hidupku. Memulai lembaran baru.

Sebelum berbalik sepenuhnya, aku menengadah dan melihat kilat di langit. Sekilas, aku merasakan hembusan angin dingin di leherku, seperti bisikan.

Semoga kau tenang di sana, Arjuna_Senja.


Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu, aku tidak akan pernah melupakannya. Rasa sakit ini… akan abadi.

You Might Also Like: Rescuing Word Hope And Recovering Its

0 Comments: